Search
SEJARAH DEWAN KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Sebagai negara yang baru terbebas dari penjajahan, p ersoalan-persoalan negara dari berbagai sektor pada awal kemerdekaan hanya dapat dikendalikan secara lebih baik apabila kekuasaan dipegang oleh instansi tunggal, tidak terbagi-bagi antara pemerintah dan Badan Pekerja (BP) KNIP yang berfungsi sebagai Badan perwakilan Rakyat. Ali Sastroamidjojo selaku Sekretaris Jenderal Menteri Pertahanan menyatakan bahwa kekuasaan yang luas bisa diberikan hanya kepada Presiden. Oleh karena itu, dirasa perlu memberikan kekuasaan tersebut kepada Presiden untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
Pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946
Sehari setelah Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melaksanakan sidang dengan agenda memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara, serta dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertugas membantu Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. KNIP dibentuk pada tanggal 29 Agustus 1945 dan disusul pembentukan KNI Daerah. Pada bulan Maret 1946 Pemerintah dengan BP-KNIP berhasil melahirkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya (selanjutnya disebut UU No. 6/1946). Undang-Undang tersebut menyatakan pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) yang berfungsi membantu meringankan tugas Presiden terutama yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan. Pada Pasal 3 dan Pasal 4 dinyatakan bahwa selama diberlakukannya keadaan bahaya, maka pelaksanaan Undang-Undang masih berada ditangan DPN. Struktur DPN terdiri dari Perdana Menteri sebagai ketua dan Menteri Pertahanan sebagai Wakil ketua. Para Anggotanya terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Menteri Perhubungan, Panglima Besar dan tiga orang wakil Organisasi Rakyat. Meski demikian, dalam pelaksanaannya susunan tersebut mengalami perubahan sesuai dengan kondisi politik yang berkembang, misalnya ketika Presiden menyatakan keadaan bahaya pada tanggal 29 Juni 1949 menyusul peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, susunan DPN mengalami perubahan yakni posisi Perdana Menteri diganti oleh Presiden. Perubahan itu dikuatkan oleh Peraturan Perundang-undangan Nomor 5 Tahun 1946 yang berisi susunan peraturan tentang mengadakan perubahan dalam UU No. 6/1949 yang sekaligus mengatur susunan Dewan Pertahanan Daerah (DPD).
Jatuhnya Kabinet Sjahrir telah membuat situasi politik dalam negeri mengalami masa krisis terutama intrik politik baik yang dilancarkan oleh kelompok Sjahrir ataupun kelompok Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka, dalam upaya mengatasi masalah itu Presiden menunjuk Sjahrir untuk membentuk kabinet baru yang dinilai memungkinkan untuk melanjutkan perundingan dengan Belanda. Kabinet baru terbentuk pada tanggal 12 Maret 1946 namun suhu politik masih tetap tinggi hingga akhirnya pada tanggal 22 Maret 1946 pemerintah menangkap tokoh-tokoh oposisi termasuk Tan Malaka karena dinilai membahayakan negara. Setelah penangkapan tokoh-tokoh oposisi, kondisi politik tetap memanas bahkan pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh sekelompok orang yang diindikasikan oleh pemerintah sebagai pengikut PP. Presiden Soekarno dengan persetujuan BP-KNIP memberlakukan UU No. 6/1946. Setelah pembebasan Sjahrir, krisis politik dalam negeri dapat diatasi. Kabinet Sjahrir terbentuk pada tanggal 2 Oktober 1946 dan struktur DPN kembali berubah, kedudukan Presiden dalam DPN diganti oleh Perdana Menteri yang tertuang dalam Peraturan Perundang-undangan Nomor 9 Tahun 1946 yang sekaligus mencabut Peraturan Perundang-undangan nomor 4 Tahun 1946 dan Peraturan Perundang-undangan Nomor 5 Tahun 1946. Peraturan Perundang-undangan Nomor 9 Tahun 1946 disahkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1946 yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1946. Kabinet Sjahrir meneruskan kebijakan lama yaitu melakukan perjuangan lewat meja perundingan antara lain Perundingan Linggarjati (7 Oktober sampai 15 November 1946).
Pembentukan Dewan Keamanan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954
Pada masa awal pembentukan kembali Negara kesatuan Republik Indonesia, Dewan Pertahanan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang keadaan bahaya yang mengacu kepada UUD 1945 masih berfungsi seiring dengan permasalahan politik dan keamanan yang berkembang setelah itu khususnya yang menyangkut keamanan nasional, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo merasa perlu untuk menyusun peraturan-peraturan atau Undang-Undang baru tentang pertahanan nasional yang mengacu kepada Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku saat itu dengan persetujuan dari parlemen, akhirnya diterbitkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara (selanjutnya UU No. 29/1945). Pada Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan suatu Dewan Keamanan Nasional.
Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1954
Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 , Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1954 (selanjutnya PP No. 17/1954) yang menetapkan aturan pembentukan suatu Dewan Keamanan Nasional (DKN). Keanggotaan DKN terdiri dari Perdana Menteri sebagai Ketua, Wakil Ketua Perdana Menteri I selaku Wakil Ketua I dan Wakil Perdana Menteri II sebagai Wakil Ketua II (semua merangkap anggota) ditambah Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman sebagai anggota. Dalam PP No. 17/1954 Pasal 3 ditegaskan bahwa tugas DKN adalah memberikan pertimbangan masalah keamanan kepada Dewan Menteri, merencanakan pengerahan alat kekuasaan negara untuk menjamin dan/atau memulihkan keamanan serta melakukan koordinasi antara alat-alat negara.
Dalam pasal lain disebutkan tentang pembentukan Koordinasi Keamanan Daerah (KKD) di tingkat provinsi yang beranggotakan kepala daerah setempat sebagai ketua merangkap anggota, pejabat militer, pejabat polisi dan pejabat kejaksaan daerah provinsi sebagai anggota. Jika suatu wilayah daerah dalam kondisi perang atau darurat perang, pejabat militer, pejabat tinggi militer di suatu provinsi menjabat sebagai ketua dan merangkap anggota, sedangkan gubernur atau pejabat sipil sebagai anggota, sementara di tingkat kabupaten baru dibentuk koordinator keamanan berdasarkan usul dari KKD provinsi. Dengan lahirnya UU No. 29/1954, maka PP No. 6/1946 tentang negara dalam keadaan bahaya yang diterbitkan tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan tidak berlaku lagi. Dengan demikian DKN yang dibentuk berdasarkan PP No. 17/1954 menggantikan kedudukan DPN. Sebagai lembaga negara yang lahir dari situasi dan konteks histori yang berlainan terdapat perbedaan struktur dan tugas antara DPN dan DKN, meskipun demikian misi dasar kedua lembaga tersebut secara umum sama yakni menyumbangkan pemikiran dalam rangka menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Perbandingan Struktur dan tugas/wewenang Dewan Pertahanan negara dan Dewan Keamanan Nasional meliputi:
A. Dewan Pertahanan Negara (berdasarkan UU Nomor 6/1946)
Struktur organisasi
Tugas/wewenang (termasuk DPD)
Pembentukan Dewan Pertahanan Daerah baru bisa dilakukan jika seluruh negara dinyatakan dalam keadaan bahaya dan dibentuk di tingkat keresidenan. Jika hanya sebagian wilayah yang mengalami keadaan bahaya maka hanya wilayah tersebut yang dibentuk DPD.
Anggota DPD terdiri dari:
B. Dewan Keamanan (Berdasarkan UU No.29/1954)
Struktur Organisasi :
Tugas/Wewenang
Pembentukan koordinasi Keamanan daerah untuk menjalankan tugas-tugas DKN. Koordinasi dibentuk di tingkat provinsi;
Struktur KKD meliputi:
Jika suatu daerah dinyatakan dalam keadaan bahaya perang atau darurat perang pejabat militer tertinggi menjabat sebagai ketua sedangkan kepala daerah tingkat provinsi sebagai anggota;
Koordinasi keamanan bisa dibentuk hingga tingkat kabupaten atas usul KKD.
Dalam perkembangan selanjutnya fungsi dan tugas DKN terus diperbaiki. Pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, diterbitkan Peraturan Pemerintahan yang mengatur tentang perubahan PP No. 17/1954 tentang Dewan Keamanan Nasional. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan perlunya biaya yang cukup untuk menjamin pelaksanaan program pemulihan dan pemeliharaan keamanan serta ketertiban umum, sehingga perlu mengangkat Menteri Keuangan sebagai Dewan Keamanan Nasional melalui PP No. 10/1955 yang ditetapkan pada tanggal 25 Februari 1955. Untuk meningkatkan keamanan nasional dan melaksanakan amanat yang ditetapkan oleh UU No. 29/1954 maka pada 28 Maret 1955 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1955 tentang Dewan Keamanan (selanjutnya PP No.14/1955). Berdasarkan hal tersebut nama Dewan Keamanan Nasional berubah menjadi Dewan Keamanan (DK). Sejak pemberlakuan PP No.14/1955 maka PP No. 17/1954 dan Keppres RI No. 125 Tahun 1951 tentang Dewan Pertahanan tidak berlaku lagi.
Dalam PP No. 14/1955 dijelaskan tugas DK adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam menetapkan kebijakan umum pemerintah tentang (1) tindakan-tindakan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum; (2) pengerahan dan penggunaan alat-alat kekuasaan negara serta koordinasi antara alat-alat kekuasaan itu untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum; dan (3) persiapan negara untuk pertahanan dalam pengerahan tenaga manusia dan cabang-cabang produksi, pemakaian alat-alat pengangkutan dan perhubungan serta persediaan dan pembagian bahan yang diperlukan untuk pertahanan dan penghidupan rakyat sepanjang persiapan itu dipandang perlu oleh Dewan Menteri. Berdasarkan fungsi dan tugasnya, jelas bahwa DK tidak hanya mengurus masalah pengerahan kekuatan negara namun juga mengatasi permasalahan yang muncul sebagai dampak dari pengerahan kekuatan negara tersebut. Untuk melaksanakan tugas-tugas sehari-hari DK, dibentuk Sekretariat Dewan Keamanan yang dikepalai oleh seorang Sekretaris yang ditunjuk oleh Perdana Menteri. Sekretaris DK memiliki tugas pokok: (1) mempersiapkan dan mengatur rapat-rapat DK, (2) menghadiri semua rapat DK, (3) menyelesaikan administrasi hasil rapat DK, dan (4) menjaga kerahasiaan ( security ) tentang urusan dalam DK. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris bertanggung jawab kepada Ketua DK. Pada tanggal 6 Oktober 1956, pemerintah merevisi kembali PP No. 14/1955 dengan menambahkan ketentuan bahwa dalam keadaan tertentu, Ketua DK dapat menjabat ketua merangkap koordinasi keamanan daerah. Perubahan demi perubahan terhadap nama, struktur, tugas dan wewenang lembaga dewan keamanan memperlihatkan bahwa pemerintah berusaha menyesuaikan kinerja lembaga tersebut dengan permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Eksistensi DK berlangsung sampai 1959. Pada tahun itu, Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke UUD 1945 menyusul kegagalan Dewan Konstituante menyusun Undang-Undang dasar yang baru.
Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (Depertan) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 618 tahun 1961
Pada masa perjuangan merebut Irian Barat Pemerintah sangat serius menangani masalah pertahanan dan keamanan. Sebagai tindak lanjut menghadapi Belanda, Pemerintah mengadakan sidang kabinet inti bersama Gabungan Kepala Staf (GKS) pada awal Desember 1961. Secara khusus, Presiden Soekarno membicarakan soal pengembalian Irian Barat ke dalam kekuasaan Indonesia. Dalam kesempatan tersebut KSAD mengusulkan untuk menghidupkan kembali Dewan Pertahanan Nasional. Lembaga itu diharapkan dapat merumuskan cara-cara mengintegrasikan seluruh potensi nasional untuk pembebasan Irian Barat. Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 11 Desember 1961, pemerintah secara resmi membentuk Dewan Pertahanan Nasional (diakronimkan Depertan) berdasarkan Keputusan Presiden No. 618/1961. Dewan diketuai langsung oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), sedangkan Menteri Pertama Ir. Djuanda dan Menteri Keamanan Nasional Jenderal A. H. Nasution masing-masing diangkat menjadi Deputi I dan Deputi II, dan Letnan Jenderal R. Hidayat sebagai Sekretaris Jenderal. Anggota Depertan sebanyak 14 orang, yang terdiri dari para pejabat tinggi militer, sipil dan wakil dari Irian Barat. Pada 1962, Depertan mengalami perubahan struktur kepengurusan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 94/1962, Depertan dipimpin oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia sebagai ketua merangkap anggota, dibantu Menteri Pertama dan Wakil Menteri Pertama masing-masing sebagai anggota. Perjuangan merebut kembali Irian Barat tetap menjadi fokus utama dan pada akhirnya sejak 1 Januari 1963, Sang Merah Putih dikibarkan bersama bendera PBB di Irian Barat.
Pembentukan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1970
Setelah menerima mandat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai Presiden Republik Indonesia yang menggantikan Soekarno, Letnan Jenderal Soeharto berkeinginan untuk menghidupkan kembali Lembaga Penasihat Presiden dalam masalah pertahanan dan keamanan nasional. Keinginan itu diwujudkan melalui Surat Keputusan Presiden RI tanggal 17 Maret 1969, No. 39/ABRI/1969 tentang penempatan Letnan Jenderal TNI M. M. Rachmat Kartakusuma (menjabat dari tahun 1970 hingga 1978) sebagai perwira tinggi diperbantukan Presiden dalam rangka persiapan pembentukan organisasi Dewan Pertahanan Nasional. Surat itu masih menyebut rencana pembentukan Dewan Pertahanan Nasional seperti yang pernah dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tahun 1961 dalam rangka menggalang kekuatan dan penyusunan strategi untuk merebut kembali Irian Barat dari penguasaan Belanda. Secara resmi, Wanhankamnas dibentuk pada 1 Agustus 1970 berdasarkan Keppres No. 51/1970. Dasar pemikiran pembentukan Dewan adalah keperluan akan lembaga negara yang membantu Presiden dan bertugas menyusun kebijaksanaan tertinggi dan menjamin penyelenggaraan koordinasi yang efektif. Pemerintah pada saat itu memandang lembaga tersebut sangat mendesak dibentuk karena perkembangan keadaan yang terus berubah. Dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 51/1970 diatur susunan dan tata kerja Wanhankamnas, dalam pasal 3 disebutkan bahwa Dewan dipimpin langsung oleh Presiden Republik Indonesia. Untuk membantu kelancaran tugas-tugas Dewan dibentuk Sekretaris Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal yang dibantu oleh wakilnya. Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal serta anggota Wanhankamnas diatur dengan keputusan Presiden
Kedudukan, fungsi, dan tugas Sekretariat Jenderal diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 71/1970 yang menyebutkan bahwa Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (disingkat Setjen Wanhankamnas) merupakan badan bantuan administratif yang berkedudukan langsung dibawah Ketua Wanhankamnas. Dalam kegiatannya Setjen menyelenggarakan kegiatan bantuan administrasi demi tercapainya tugas-tugas pokok Dewan sesuai pasal 2 Keputusan RI No.51/1970. Keanggotaan Setjen meliputi seorang Sekretaris Jenderal (disingkat Sesjen) yang dijabat oleh seorang Perwira Tinggi ABRI, seorang Wakil Sekretaris Jenderal, pembantu utama yang dijabat oleh anggota ABRI atau sipil dan kemudian di bawahnya terdapat biro-biro. Sesuai dengan Pasal 5 Keppres RI No. 71/1970 tugas Sesjen Wanhankamnas adalah membantu Ketua Dewan dalam memimpin dan mengendalikan kegiatan Wanhankamnas, memimpin Setjen Wanhankamnas, menghadiri semua sidang Dewan, menghimpun/menelaah/menilai dan menyusun bahan-bahan untuk kepentingan Dewan, menghubungi lembaga-lembaga negara, organisasi-organisasi swasta dan golongan-golongan masyarakat yang dipandang perlu dalam rangka tugas-tugas Dewan dan melaksanakan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Dewan. Sekretaris Jenderal dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal dan pembantu-pembantu utama yang diangkat oleh Setjen Dewan, yang terdiri dari anggota-anggota ABRI dan non-ABRI. Susunan di bawahnya terdapat biro-biro yang terdiri dari Biro Umum, Biro Hubungan dengan Lembaga-lembaga Negara/Badan-badan Swasta/Golongan-golongan Masyarakat, biro yang ketiga adalah Biro Dokumentasi, Pencetakan dan Distribusi. Kesekretariatan Wanhankamnas berubah sesuai dengan perkembangan waktu. Pada 1971, terbit Surat Keputusan Presiden Nomor 17 tentang Setjen Wanhankamnas, yang mengubah Keppres No. 71/1970. Perubahan terutama terdapat dalam Pasal 11 Ayat 1, yang menyatakan bahwa Pembantu Utama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Sesjen setelah mendengar Menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan yang bersangkutan Pada 1975, Kelembagaan Setjen Wanhankamnas disempurnakan lagi dalam Keppres No. 31 Tahun 1975. Dalam Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional adalah suatu Lembaga Pemerintah Non-Departemen dalam lingkungan Dewan Hankamnas yang berada langsung di bawah Presiden selaku Ketua Dewan Hankamnas.
Keppres No. 31/1975 tersebut lebih spesifik dan merinci tugas dan fungsi Setjen Wanhankamnas. Penyempurnaan susunan organisasi Setjen yang diputuskan dalam Keppres tersebut adalah penambahan empat Deputi Sesjen, yaitu Deputi Pengumpulan dan Pengolahan Prasarana Strategis, Deputi Penelitian dan Pengkajian, Deputi Perencanaan dan Deputi Pengembangan; masing-masing Deputi dibantu oleh Pembantu Deputi. Selanjutnya, masing-masing Pembantu Deputi membawahkan lima Bagian dan setiap Bagian membawahkan dua Sub-Bagian. Untuk tingkatan di bawahnya dibentuk unsur pelayanan atau biro-biro, yang terdiri atas Biro Umum, Biro Dokumentasi, dan Biro Keuangan. Pada dekade ini, Setjen Wanhankamnas dipimpin oleh Letjen TNI Achmad Wiranatakusumah dari tahun 1978 hingga setahun setelah penyempurnaan susunan organisasi pada tahun 1985.
Pada tahun 1984, Presiden menerbitkan Keppres yang menyempurnakan susunan organisasi Sekretariat Jenderal Wanhankamnas. Perubahan yang dilakukan adalah pada Pasal 6, yaitu seorang Pembantu Deputi Sesjen Wanhankamnas dibantu oleh lima orang Staf Pembantu Deputi. Tambahan lainnya adalah dalam Pasal 27 yang menyatakan dalam melaksanakan tugas-tugasnya Deputi bertanggung jawab kepada Sesjen, Pembantu Deputi kepada Deputi, dan Staf Pembantu Deputi kepada Pembantu Deputi. Pada tahun yang sama, Laksda TNI Machmud Subarkah dilantik menggantikan Letjen TNI Achmad Wiranatakusumah selaku Setjen Wanhankamnas. Keputusan Presiden terakhir tentang Wanhankamnas yang diterbitkan melalui Keppres No. 51 Tahun 1991, tanggal 18 November 1991, yang berisi tentang perubahan Keppres No. 51 Tahun 1970 tentang Dewan Pertahanan Keamanan Nasional. Dalam Keppres No. 51/1991, susunan Wanhankamnas diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, dengan anggota terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Koordinasi Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Sekretaris Negara, Panglima ABRI, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, dan Sekretaris Jenderal Wanhankamnas. Keputusan lain adalah Presiden dapat menambah susunan Wanhankamnas bila dianggap perlu, selain itu para Kepala Staf Angkatan dan Kepala Kepolisian RI dapat menghadiri sidang atas permintaan Ketua Wanhankamnas. Selepas penyempurnaan susunan Wanhankamnas tersebut, Setjen Wanhankamnas dipimpin oleh Letjen TNI Soekarto hingga tahun 1998 dan dilanjutkan oleh Letjen TNI Arifin Tarigan, S.H.
Pembentukan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1999
Pada 31 Agustus 1999, Presiden Habibie menerbitkan Keputusan Presiden No. 101 Tahun 1999 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Nasional. Dengan Keppres itu, nama Wanhankamnas berubah menjadi Dewan Ketahanan Nasional yang diakronimkan Wantannas. Pada dasarnya, tugas dan fungsi Wantannas RI tidak jauh berbeda lembaga sebelumnya. Dalam Keppres itu disebutkan bahwa Wantannas RI merupakan sebuah lembaga persidangan yang dibentuk dan diketuai oleh Presiden. Pada masa dibentuknya Wantannas RI ini, Setjen Wantannas masih dipimpin oleh Letjen TNI Arifin Tarigan, S.H. hingga tahun 2003 dan selanjutnya Prof. Dr. Budi Santoso, M.Sc., APU. diangkat sebagai Sekretaris Jenderal hingga tahun 2005 menggantikan Letjen TNI Arifin Tarigan, S.H. Kepemimpinan Setjen Wantannas RI kemudian dilanjutkan oleh Letjen TNI Muhammad Yasin, S.H. (2005-2008), Letjen TNI Bambang Darmono (2008-2010), Letjen TNI Rasyid Qurnuen Aquary (2010-2011), Letjen TNI Junianto Haroen (2011-2012), Letjen TNI Waris (2012-2015), Letjen TNI M. Munir (2015-2016), Letjen TNI Nugroho Widyotomo (2016-2018), Letjen TNI Doni Monardo (2018-2019), Laksdya TNI Ir. Achmad Djamaludin, M.A.P. (2019-2020), Laksdya TNI Dr. Ir. Harjo Susmoro, S.Sos., S.H., M.H., M.Tr. Opsla (2020-2023) dan Laksdya TNI Dadi Hartanto, M.Tr. (Han)., M.Tr.Opsla (2023-2024).
Struktur organisasi Wantannas RI adalah Presiden sebagai ketua, Setjen Wantannas RI sebagai Sekretaris Dewan, para anggota terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara/Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Penerangan, Menteri Kehakiman, Panglima TNI, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara. Anggota tambahan dapat ditunjuk sesuai kebutuhan. Dasar pemikiran Wantannas RI adalah pembinaan Ketahanan Nasional melalui pendekatan komprehensif integratif. Sekretariat Jenderal Wantannas RI merupakan lembaga pemerintah non-Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah merumuskan rancangan kebijakan dan strategi nasional dalam rangka pembinaan ketahanan nasional untuk menjamin pencapaian tujuan dan kepentingan Nasional Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, Sesjen Wantannas RI dibantu oleh empat deputi yang mengurusi masalah tertentu, yakni (1) Deputi Bidang Sistem Nasional, (2) Deputi Bidang Pengkajian dan Penginderaan, (3) Deputi Bidang Politik dan Strategi, dan (4) Deputi Pengembangan. Setiap deputi membawahkan beberapa pembantu deputi.
Saat ini Sesjen Wantannas RI dijabat oleh Laksdya TNI Dr. T.S.N.B Hutabarat, M.M.S., yang dilantik pada tanggal 25 April 2024 menggantikan Laksdya TNI Dadi Hartanto, M.Tr. (Han)., M.Tr.Opsla.